WELCOME...............!!!!

^_^ AINI PLANOLOGI'S BLOG ^_^
JAGALAH BUMI KITA DARI TANGAN-TANGAN MANUSIA TAK BERTANGGUNG JAWAB

Senin, 15 Februari 2010

RUANG TERBUKA HIJAU SEBAGAI UNSUR PENGENDALI FUNGSI EKOLOGIS

Ruang adalah wadah kehidupan manusia beserta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya meliputi bumi, air dan ruang angkasa sebagai satu kesatuan. Konsep ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu: jarak, lokasi, bentuk, dan ukuran. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah (Budiharsono, 2001). Dalam merencanakan suatu wilayah harus memperhatikan tiga aspek, yaitu: aspek fisik dan lingkungan, ekonomi serta budaya. Aspek fisik dan lingkungan merupakan aspek penting dalam perencanaan suatu tata ruang wilayah agar tercipta permukiman dengan lingkungan sehat.
Komponen yang terkait dalam aspek fisik dan ingkungan adalah sebagai berikut:
a. Klimatologi
b. Topografi
c. Geologi
d. Hidrologi
e. Tata Guna Lahan
Dari lima komponen tersebut, tata guna lahan merupakan aspek mendasar yang harus diperhatikan dalam suatu perencanaan, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Tata guna lahan pada awalnya berasal dari ekonomi pertanian yang artinya penggunaan ekonomis sebidang tanah (misal: untuk tanaman basah, tanaman kering, dsb.) Namun, lambat laun istilah tata guna lahan diadopsi ke bidang tata ruang kota & wilayah, dengan arti penggunaan tanah perkotaan/wilayah untuk fungsi tertentu. Fungsi tata guna lahan ini berupa:
• Perumahan
• Perdagangan
• Ruang terbukan hijau
• Perkantoran
• Pendidikan
• Industri
• Rekreasi
• Pertanian, dll
Dewasa ini, tata guna lahan yang menjadi perhatian masyarakat yaitu mengenai tata guna lahan di perkotaan terutama ketersediaan Ruang Terbuka Hijau. Menurut Purnomohadi, (1995) RTH memiliki dua pengertian, yaitu
1. RTH adalah suatu lapang yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu)
2. “Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan”
Ditinjau dari sudut kepemilikan dan tanggung jawab, maka RTH dibagi ke dalam dua jenis :
1. RTH milik pribadi atau badan hukum, misal: halaman rumah tinggal, perkantoran, tempat ibadah, sekolah atau kampus, hotel, rumah sakit, kawasan perdagangan (pertokoan, rumah makan), kawasan industri, stasiun, bandara, pelabuhan, dan lahan pertanian kota.
2. RTH milik umum, yaitu lahan dengan tujuan penggunaan utamanya adalah ditanami berbagai jenis tetumbuhan untuk memelihara fungsi lingkungan, yang dikelola pemerintah daerah, dan dapat dipergunakan masyarakat umum, seperti taman rekreasi, taman olahraga, taman kota, taman pemakaman umum, jalur hijau jalan; bantaran rel kereta api, saluran umum tegangan ekstra tinggi (SUTET), bantaran kali, serta hutan kota (HK) konservasi, HK wisata, HK zona industri, HK antar-zona permukiman, HK tempat koleksi dan penangkaran flora dan fauna
Dalam masalah perkotaan, RTH merupakan bagian atau salah satu sub-sistem dari sistem kota secara keseluruhan. RTH sengaja dibangun secara merata di seluruh wilayah kota untuk memenuhi berbagai fungsi dasar yang secara umum dibedakan menjadi:
a. Fungsi bio-ekologis (fisik), yang memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (’paru-paru kota’), pengatur iklim mikro, agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap (pengolah) polutan media udara, air dan tanah, serta penahan angin;
b. Fungsi sosial, ekonomi (produktif) dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal, RTH merupakan media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, tempat pendidikan, dan penelitian;
c. Ekosistem perkotaan; produsen oksigen, tanaman berbunga, berbuah dan berdaun indah, serta bisa mejadi bagian dari usaha pertanian, kehutanan, dan lain-lain;
d. Fungsi estetis, meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik (dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukiman, maupun makro: lansekap kota secara keseluruhan). Mampu menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota. Juga bisa berekreasi secara aktif maupun pasif, seperti: bermain, berolahraga, atau kegiatan sosialisasi lain, yang sekaligus menghasilkan ’keseimbangan kehidupan fisik dan psikis’. Dapat tercipta suasana serasi, dan seimbang antara berbagai bangunan gedung, infrastruktur jalan dengan pepohonan hutan kota, taman kota, taman kota pertanian dan perhutanan, taman gedung, jalur hijau jalan, bantaran rel kereta api, serta jalur biru bantaran kali.

.
Berdasarkan fungsi tersebut, RTH merupakan salah satu unsur kota yang terpenting, yaitu jika dilihat dari fungsi ekologis. Fenomena hubungan antar manfaat RTH kota terhadap pengendalian banjir, peningkatan kualitas air tanah, pengurangan polusi dan pengendali suhu kota tropis merupakan salah satu upaya pengendalian kerusakan dan pencemaran dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup kota. Pembangunan kota yang tidak mempertimbangkan pengelolaan lingkungan secara komprehensif telah terbukti mengancam kelangsungan hidup kota dan warga kota. Oleh karena itu, RTH sangat diperlukan di daerah perkotaan mengingat manfaat RTH yang sangat banyak jika dilihat dari fungsinya.
Namun, sampai saat ini ketersediaan RTH di beberapa wilayah perkotaan masih minim dengan luasan yang sangat kecil dibanding dengan lahan terbangun. Padahal berdasarkan Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) No. 26 Tahun 2007, Ruang terbuka hijau di perkotaan seharusnya sebesar 30% dengan rincian 20 persen publik dan 10 persen privat. Tapi pada kenyataannya, Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau di beberapa lingkungan perkotaan kurang mendapat perhatian dan masih sangat minim. Berikut ini merupakan studi kasus yang membahas tentang minimnya ketersediaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Jakarta

.













STUDI KASUS


DKI Targetkan 13,9 Persen Ruang Terbuka Hijau

http://www.antaranews.com/view/?i=1245042564
Senin, 15 Juni 2009 12:09 WIB

Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) seluas 13,9 persen wilayah Jakarta, sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2010. Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI, Ery Basworo, di Jakarta, Senin, mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan memiliki 13,9 persen RTH di wilayah Jakarta pada 2010. Dari target itu, lanjutnya, Dinas Pertamanan dan Pemakaman baru memenuhi sebesar 9,6 persen RTH di kota Jakarta atau seluas 665 kilometer persegi.
"Sisanya sekitar empat persen lagi. Namun, untuk memenuhi yang empat persen itu memang kita akui tidak mudah. Jika empat persen yang belum terpenuhi berarti luasnya sama dengan 24 kali luas Monumen Nasional (Monas). Ini sesuatu yang tidak mudah dan membutuhkan waktu sangat lama," ujar Ery Basworo.
Menurut Ery, Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI akan memenuhi target RTH itu dengan menambah sejumlah taman interaktif di pemukiman penduduk. Diakuinya untuk menambah luas RTH sesuai target dalam waktu singkat bukan perkara mudah, karena banyak masyarakat yang enggan melepas lahannya kendati untuk fasilitas umum. Ery Baskoro menuturkan, sejauh ini, langkah tersebut yang paling mudah dilakukan. Hal itu bisa dilihat dari penambahan taman interaktif yang dilakukan dalam dua tahun belakangan, misalnya Taman Ayodia Barito, Taman Situ Lembang Menteng, dan Taman Kampungsawah Tomang.
Selain itu, katanya, ada pula Taman Kota Tebet yang kemungkinan akan selesai pembangunannya dan berfungsi pada 2010 mendatang.
"Taman kota Tebet sedang dalam pengerjaan. Insya Allah nantinya fasilitas taman tersebut sama dengan Taman Ayodia dan Situ Lembang," jelas Ery.
Luas taman yang telah dibangun itu memang tidak besar, hanya 500-750 meter persegi. Namun, ini menunjukkan komitmen Pemprov DKI yang terus berupaya menambah RTH ditengah minimnya ketersediaan lahan.
"Satu persen tidak berarti. Tapi sambil jalan kita juga bebaskan yang besar-besar meskipun mahal dan kita buat yang kecil-kecil seperti Ayodia yang memiliki luas 7.500 meter persegi," lanjutnya.
Edy Basworo berharap, ke depan ada peran aktif dari warga untuk membangun taman-taman kecil di tengah-tengah pemukiman warga. Selain untuk lingkungan, taman tersebut diharapkan berguna bagi kegiatan masyarakat sekitar seperti jika mengadakan perhelatan resepsi pernikahan dan kegiatan sosial masyarakat lainnya. Selain membangun taman-taman kecil atau taman interaktif, Dinas Pertamanan dan Pemakaman juga berencana melakukan pembebasan beberapa Taman Pemakaman Umum (TPU) untuk dijadikan ruang terbuka hijau. TPU yang akan dibebaskan antara lain adalah di TPU di kawasan Cilangkap dan Cipayung, Jakarta Timur serta Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara.














REVIEW AND CRITICAL

Artikel tersebut telah menjelaskan bahwa Ruang terbuka hijau di Kota Jakarta sudah sangat minim. Padahal Kota Jakarta merupakan Ibu Kota Indonesia yang seharusnya menjadi contoh bagi daerah lainnya. Namun, pemerintah sudah gagal dalam mempertahankan Ruang Terbuka Hijau yang terdapat di Jakarta. Hal ini telah terlihat dari Ruang Terbuka Hijau yang tersedia hanya 9,6 persen dan pemerintah DKI Jakarta hanya menargetkan Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta mencapai 13,9 persen pada tahun 2010. Ruang Terbuka Hijau yang tersisa di Kota Jakarta hanya terapat di beberapa tempat, seperti di Pemakaman Karet, Kawasan Kemayoran, Pemakaman Tanah Kusir, Monas, Gelora Bung Karno dan di kawasan Tebet.

Angka ketersediaan lahan sebesar 9,6% ini sangat jauh dari ketentuan Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) No. 26 Tahun 2007, yang mengamanatkan Ruang Terbuka Hijau di perkotaan sebesar 30%, dengan 20 persen publik dan 10 persen privat. Meskipun angka tersebut tergolong kecil dibandingkan dengan lahan terbangun yang ada di jakarata, namun pemerintah DKI telah menyatakan sangat sulit mencapai angka tersebut.
Pernyataan tersebut sangat miris bagi sebuah ibu kota yang seharusnya berusaha mensejajarkan diri dengan kota-kota besar dunia yang secara terus-menerus meningkatkan kualitas lingkungan kotanya, yang tidak saja bersih, tetapi juga secara fisik dan sosial dapat berfungsi optimal. Kota-kota besar yang patut ditiru salah satunya adalah SIngapura.
Singapura merupakan negara miskin yang minim akan Sumber Daya Alamnya, namun singapura mampu berkembang melebihi indonesia, karena pemerintah dan masyarakatnya memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya lingkungan hidup terutama RTH. Hal ini terlihat dari upaya pemerintah maupun masyarakat dalam pemenuhan RTH di singapura. Urban Redevelopment Authority (URA) dan Singapore National Parks (NParks), menyusun Rencana Induk RTH (The Parks and Waterbodies Plan) dengan komposisi, yaitu RTH (19 persen), perkantoran (17 persen), infrastruktur (15 persen), perumahan (12 persen), dan lain-lain (lahan hijau cadangan, 37 persen). Singapura juga mensyaratkan standar 0,4 ha RTH untuk setiap 1.000 orang dalam perumahan/real estat, taman seluas 10 ha di setiap wilayah setingkat kecamatan/distrik, taman seluas 1,5 ha setiap blok apartemen/hotel, dan koefisien dasar hijau (KDH) 60 persen dalam kompleks kondominium/ apartemen/hotel/rusun. Untuk menjamin kepastian hukum, pelaksanaan Rencana Induk RTH didukung The National Parks Act dan The Park and Trees Act yang mengatur perencanaan RTH, penanaman pohon, pemeliharaan RTH dan pohon, penebangan
dan/atau perlindungan pohon dewasa, pengolahan dan pemanfaatan sampah organic untuk pohon, hingga laporan kemajuan pembangunan RTH baru atau pengembangan kualitas RTH.
Selain itu, Pemerintah Singapura juga menetapkan 6 (enam) kategori RTH, didasarkan pada hierarki ruang terbuka yang saling berkaitan (interwoven), sebagai berikut :
1. Ruang terbuka alami (natural open space) berupa hutan bakau, daerah hutan kota dan daerah lindung.
2. Taman kota dan halaman yang relatif besar dan luas, seperti taman wilayah, dan taman lingkungan.
3. Lapangan olahraga dan rekreasi, seperti stadion, lapangan golf, bumi perkemahan, dan kebun binatang.
4. Jalur hijau (green belts) pembatas dan penghubung taman-taman luas, dan pengaman prasarana.
5. Jalur hijau (greenways) penghubung antar permukiman dengan batas penduduk antara 200-300 ribu orang saja, bisa alami, dengan rancangan informal, atau berupa ‘pedestrian malls and plaza’.
6. Lain-lain, termasuk area pelatihan militer dan lahan pertanian (Dirjen Penataan Ruang, 2006)

Keseriusan pemerintah singapura ini, telah berhasil membuat singapura sebagai negara dengan lingkungan kota yang sehat, nyaman, aman dan indah bagi penduduknya. Mengacu pada keberhasilan Singapura, seharusnya Jakarta dapat mencontoh keberhasilan singapura tersebut. Pemerintah harus mencari solusi supaya RTH di Jakarta bisa terpenuhi sehingga Jakarta bisa dikenal sebagai ibu kota dengan lingkungan kota yang indah, sehat, nyaman bagi penduduknya.
Menurut Dirjen penataan ruang (2006), Proyeksi kebutuhan RTH di Jakarta hendaknya diarahkan pada:
• Preservasi pada zona pesisir (coastal zone) di Jakarta Utara sebagai wilayah tepian air terbuka (waterfront) yang dilindungi, karena tanah yang labil sebagai hasil sedimentasi sungai-sungai, tanah rendah dan langganan banjir.
• Preservasi daerah aquifer recharge area perlu memelihara daerah selatan Jakarta sebagai wilayah RTH untuk peresapan air.
• Aliran sungai-sungai yang mengalir dari selatan ke utara Jakarta perlu dijadikan koridor preservasi hijau.
• Program banjir kanal dengan waduk-waduknya perlu ditunjang dengan program penghijauan dan rekreasi air.
• Koridor hijau di bawah kabel udara tegangan tinggi (SUTET) sesuai peraturan yang ada sebagai daerah pengaman.
• Koridor jalur hijau jalan raya dan bantaran kereta api.
• Area-area rekreasi lingkungan dapat diintegrasikan pada jalur-jalur preservasi hijau seperti tepi sungai, waduk, aquifer recharge area, pantai, dan lain-lain, serta diusahakan perencanaan penyebaran secara merata.
• Adanya peraturan perundangan yang menunjang program RTH, baik makro maupun mikro.
Solusi yang telah dikeluarkan oleh dirjen penataan ruang tersebut, seharusnya bisa dijalankan oleh pemerintah Jakarta maupun masyarakat dengan baik, bukan hanya tertuang di dokumen saja, tetapi bisa di realisasikan di Ibu Kota Negara Indonesia ini.






























DAFTAR ISI

Sastra, Suparno & Endy Marlina, 2006. Perencanaan dan Pengembangan Perumahan. Yogyakarta: CV Andi Offset

NN, 2007, Definisi dan Konsep Ruang Terbuka, (Online 19 November 2009) (http://mpkd.ugm.ac.id/weblama/homepageadj/support/materi/mstt/b01-mstt-definisi-dan-konsep.pdf)

shanty oktavilia, 2008, Perencanaan dan Pembangunan Wilayah, ((Online 19 November 2009) (http://www.slideshare.net/oktavilia/perencanaan-pembangunan-wilayah)
DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM
Dirjen Penataan Ruang Departemen PU. 2008. Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi Sertasosial Budaya Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang. Jakarta: Departemen PU

Dirjen Penataan Ruang. 2006. Ruang terbuka hijau (RTH) Sebagai Unsur Utama Pembentuk Kota Taman. Jakarta: Departemen PU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger