WELCOME...............!!!!

^_^ AINI PLANOLOGI'S BLOG ^_^
JAGALAH BUMI KITA DARI TANGAN-TANGAN MANUSIA TAK BERTANGGUNG JAWAB

Sabtu, 16 Januari 2010

MASA DEPAN HUTAN SEBAGAI PARU-PARU DUNIA

Tuhan telah menciptakan tubuh manusia dengan sesempurna mungkin. Di dalam tubuh tersebut terdapat organ-organ yang memiliki fungsinya masing-masing dan saling berhubungan satu sama lain. Apabila salah satu organ tersebut rusak dan tidak berfungsi, maka akan mempengaruhi kerja seluruh organ yang menopang tubuh itu sehingga dapat mengganggu aktivitas yang dilakukan manusia. Hal ini tentunya akan menimbulkan rasa sakit dan kemungkinan besar akan mengancam kehidupan manusia. Sebaliknya, jika seluruh organ tubuh sehat, maka kehidupan manusia akan terasa indah dan dapat melakukan aktivitasnya dengan baik tanpa merasa terganggu.
Hal itu juga berlaku di bumi sebagai tempat tinggal makhluk hidup. Bumi telah diciptakan sebagai tempat tinggal yang baik bagi manusia. Selain di lengkapi dengan fenomena-fenomena alam seperti perubahan iklim, musim dan cuaca, bumi juga dilengkapi dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Semua Sumber Daya Alam alam yang ada berfungsi untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup dan untuk menyeimbangkan keadaan bumi sesuai dengan perkembangan zaman. Antara Sumber Daya Alam yang satu dengan yang lain saling memilki keterkaitan. Selain itu, kondisi Sumber Daya Alam juga mempengaruhi kondisi manusia dan bumi di masa yang akan datang. Apabila Sumber Daya Alam yang ada bisa dikelola dengan baik maka akan memberikan dampak positif bagi bumi dan makhluk hidup khususnya manusia. Sebaliknya, jika Smber Daya Alam yang ada tidak terkelola dengan baik (rusak) maka akan memberikan dampak yang negatif bagi bumi dan makhluk hidup.
Salah satu Sumber Daya Alam yang paling berpengaruh bagi kondisi bumi dan kehidupan makhluk hidup adalah hutan. Hutan merupakan paru-paru dunia. Hal ini sangatlah beralasan, karena hutan sangat tekait dengan kehidupan manusia dan fenomena-fenomena yang terjadi di planet bumi ini. Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya (Wikipedia, 2009). Selain di tumbuhi dengan pepohonan dan tumbuhan lainnya, hutan juga identik sebagai tempat tinggal berbagai macam hewan seperti gajah, harimau, monyet, singa, jerapah dan masih banyak hewan lainnya. Setiap hutan yang ada pada daerah berbeda, memiliki perbedaan jenis tumbuhan dan hewan yang tidak dapat ditemukan di hutan lainnya atau dalam kata lain, setiap hutan yang ada di beberapa daerah memiliki karakteristik masing-masing. Hal ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan iklim, tanah, dan bentuk bentang lahan di setiap daerah.
Meskipun karakteristik setiap hutan berbeda. Namun pada dasarnya, hutan di seluruh dunia memiliki tiga bagian hutan yang sama. Bagian yang pertama adalah bagian atas tanah hutan. Pada bagian ini dapat ditemui berbagai macam tumbuhan, hewan dan pepohonan yang memiliki daun-daun lebar dan lebat serta batang kayu dengan lingkar batang yang luas. Bagian kedua adalah bagian permukaan tanah. Bagian ini di tumbuhi dengan semak belukar dan rerumputan yang hijau. Selain itu tampak juga hewan-hewan melata, serangga-serangga yang hinggap di dedaunan, dan serasah. Serasah adalah guguran segala batang, cabang, daun, ranting, bunga, dan buah yang sudah kering. Serasah memiliki peran penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan yang ada di hutan tersebut, karena serasah merupakan sumber humus yang merupakan lapisan teratas yang paling subur. Selain membantu tumbuhan agar tumbuh dengan subur, serasah juga menjadi rumah berbagai serangga kecil maupun mikroorganisme yang ada di hutan. Setelah bagian permukaan tanah, terdapat bagian hutan yang terakhir, yaitu bagian bawah hutan. Bagian ini berada di bawah permukaan serasah atau lapisan tanah paling atas sampai di dalam permukaan bumi. pada bagian ini dapat terlihat akar dari berbagai tumbuhan dengan berbagai bentuk dan ukuran, mulai dari ukuran kecil, sedang maupun besar. Ditambah lagi pada bagian ini dapat ditemukan tempat tinggal berbagai jenis binatang seperti serangga, ular, kelinci, dan binatang pengerat lainnya, dan yang paling utama pada bagian ini juga terdapat sumber mata air dengan kedalaman tertentu.
Semua bagian tersebut memiliki keindahan dan potensi masing-masing yang bisa di manfaatkan oleh manusia. Hal ini juga terbukti oleh penemuan-penemuan baru yang ditemukan oleh para penelliti. Setiap tahunnya para peneliti sering melakukan penelitian di daerah hutan. Berbagai penelitian tersebut telah berhasil menemukan bebagai hal baru seperti ditemukannya spesies baru, tumbuhan langka, obat dari penyakit berbahaya, maupun hal baru yang berkaitan dengan fenomena-fenomena alam. Hal ini menunjukan bahwa di dalam hutan masih banyak tersimpan potensi-potensi yang belum diolah. Sang paru-paru dunia ini masih memerlukan konstribusi tinggi dari manusia. Kontribusi dari manusia tentunya harus dalam hal yang positif agar hutanpun bisa memberikan sesuatu yang positif pula.
Setiap negara yang memiliki hutan dengan cakupan wilayah yang cukup luas seharusnya patut bersyukur karena selain terdapat potensi Sumber Daya Alam yang melimpah sehingga bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat banyak, hutan juga bisa menumbuhkan tingkat perekekonomian negara tersebut. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan dengan cakupan wilayah yang cukup luas. Jenis-jenis hutan yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Hutan Bakau
Hutan bakau adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai berlumpur. Contoh : pantai timur kalimantan, pantai selatan cilacap, dll.
2. Hutan Sabana
Hutan sabana adalah hutan padang rumput yang luas dengan jumlah pohon yang sangat sedikit dengan curah hujan yang rendah. Contoh : Nusa tenggara.
3. Hutan Rawa
Hutan rawa adalah hutan yang berada di daerah berawa dengan tumbuhan nipah tumbuh di hutan rawa. Contoh : Papua selatan, Kalimantan, dsb.
4. Hutan Hujan Tropis
Hutan hujan tropis adalah hutan lebat / hutan rimba belantara yang tumbuh di sekitar garis khatulistiwa / ukuator yang memiliki curah turun hujan yang sangat tinggi. Hutan jenis yang satu ini memiliki tingkat kelembapan yang tinggi, bertanah subur, humus tinggi dan basah serta sulit untuk dimasuki oleh manusia. Hutan ini sangat disukai pembalak hutan liar dan juga pembalak legal jahat yang senang merusak hutan dan merugikan negara trilyunan rupiah. Contoh : hutan kalimantan, hutan sumatera, dsb.
5. Hutan Musim
Hutan musim adalah hutan dengan curah hujan tinggi namun punya periode musim kemarau yang panjang yang menggugurkan daun di kala kemarau menyelimuti hutan.

Hutan yang ada di Indonesia merupakan hutan terluas di wilayah Asia. Hal ini berarti bahwa hutan di Indonesia merupakan paru-paru dari benua Asia bahkan dunia, karena jika dibandingkan dengan luas permukaan bumi, luas daratan hutan di Indonesia adalah 1,3 persen. Berdasarkan peta vegetasi 1950, luas hutan di Pulau Kalimantan seluas 51.400.000 hektar, Irian Jaya seluas 40.700.000 hektar, Sumatera seluas 37.370.000 hektar, Sulawesi seluas 17.050.000 hektar, Maluku seluas 7.300.000 hektar, Jawa seluas 5.070.000 hektar dan terakhir Bali dan Nusa Tenggara Barat/Timur seluas 3.400.000 hektar.
Hutan-hutan yang ada di Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Sekitar tujuh belas ribu pulau-pulau di Indonesia membentuk kepulauan yang membentang di dua alam biogeografi-Indomalayan dan Australasian- dan tujuh wilayah biogeografi, serta menyokong banyaknya keanekaragaman dan penyebaran spesies. hal inilah yang mendukung Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Keanekaragaman hayati tersebut umumnya berada di wilayah hutan. Kekayaan hayatinya mencapai 11 persen spesies tumbuhan yang terdapat di permukaan bumi. Selain itu, terdapat 10 persen spesies mamalia dari total binatang mamalia bumi, dan 16 persen spesies burung di dunia. Sebagian diantaranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut.
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan Sumber Daya Alamnya. Berdasarkan data tersebut, seharusnya Sumber Daya Alam itu bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya agar bisa memberikan dampak positif bagi negara, masyarakat maupun alam itu sendiri. Namun, pada kenyatannya yang terjadi malah sebaliknya. Hutan di Indonesia terus mengalami deforestrasi (menghilangnya lahan hutan) sehingga menimbulkan dampak negatif bagi negara, alam, masyarakat Indonesia sendiri maupun dunia. Deforestrasi di Indonesia mulai merebak pada tahun 1970. Hutan-hutan di Indonesia terus mengalami penyusutan. Hasil survei yang dilakukan pemerintah menyebutkan bahwa tutupan hutan pada tahun 1985 mencapai 119 juta hektar. Apabila dibandingkan dengan luas hutan tahun 1950 maka terjadi penurunan sebesar 27 persen. Antara 1970-an dan 1990-an, laju deforestrasi diperkirakan antara 0,6 dan 1,2 juta hektar. Sedangkan berdasarkan hasil survey Bank Dunia pada tahun 1999 laju deforestrasi rata-rata dari tahun 1985–1997 mencapai 1,7 juta hektar. Selama periode tersebut, Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan mengalami deforestrasi terbesar. Secara keseluruhan daerah-daerah ini kehilangan lebih dari 20 persen tutupan hutannya. Para ahli pun sepakat, bila kondisinya masih begitu terus, hutan dataran rendah non rawa akan lenyap dengan cepat dari Sumatera dan Kalimantan. Setelah terjadinya kesimpang-siuran, akhirnya ditarik suatu kesimpulan yang mengejutkan. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen (Sumber: World Resource Institute, 1997). Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003].
Hal ini terjadi karena fungsi asli dari hutan telah mengalami perubahan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pada dasarnya hutan memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi ekologis, fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Fungsi ekologis dari hutan, antara lain sebagai penyerap karbondioksida yang semakin berlipat di bumi, sebagai penghasil oksigen, sebagai penyerap air sehingga dapat mencegah terjadinya banjir dan longsor. Di samping itu, hutan sebagai fungsi sosial adalah sebagai penyangga kehidupan manusia, penyedia komoditas kayu, nonkayu, dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, terciptanya solidaritas masyarakat sekitar hutan, menghindari kesenjangan sosial dan sebagai tempat tinggal hewa-hewan di bumi. Sedangkan hutan sebagai fungsi ekonomis antara lain dapat meningkatkan perekonomian suatu daerah, membuka lapangan pekerjaan dengan ramah lingkungan. Namun saat ini, beberapa pihak tertentu hanya memikirkan fungsi ekonomi yang dapat membawa keuntungan bagi individu, kelompok, maupun instansi tertentu.
Hutan-hutan Indonesia menghadapi masa depan yang suram. Penyebab kerusakan hutan di Indonesia bisa berasal dari tindakan yang dilakukan manusia sendiri. Manusia selalu menggunakan alasan bahwa alam semesta hanya ada untuk memenuhi kepentingan manusia yang disebut dengan teori antropotisme, sehingga banyak dari mereka mengeksploitasi hutan secara besar-besaran. Padahal disana juga terdapat makhluk hidup lainnya seperti tumbuhan dan hewan yang berhak hidup (teori biosentrisme).
Bentuk tindakan yang dapat merusak hutan antara lain (Wikipedia, 2009):
1. Hak Penguasaan Hutan Lebih dari setengah kawasan hutan Indonesia dialokasikan untuk produksi kayu berdasarkan sistem tebang pilih. Banyak perusahaan HPH yang melanggar pola-pola tradisional hak kepemilikan atau hak penggunaan lahan. Kurangnya pengawasan dan akuntabilitas perusahaan berarti pengawasan terhadap pengelolaan hutan sangat lemah dan, lama kelamaan, banyak hutan produksi yang telah dieksploitasi secara berlebihan. Menurut klasifikasi pemerintah, pada saat ini hampir 30 persen dari konsesi HPH yang telah disurvei, masuk dalam kategori "sudah terdegradasi". Areal konsesi HPH yang mengalami degradasi memudahkan penurunan kualitasnya menjadi di bawah batas ambang produktivitas, yang memungkinkan para pengusaha perkebunan untuk mengajukan permohonan izin konversi hutan. Jika permohonan ini disetujui, maka hutan tersebut akan ditebang habis dan diubah menjadi hutan tanaman industri atau perkebunan.
2. Hutan tanaman industri telah dipromosikan secara besar-besaran dan diberi subsidi sebagai suatu cara untuk menyediakan pasokan kayu bagi industri pulp yang berkembang pesat di Indonesia, tetapi cara ini mendatangkan tekanan terhadap hutan alam. Hampir 9 juta ha lahan, sebagian besar adalah hutan alam, telah dialokasikan untuk pembangunan hutan tanaman industri. Lahan ini kemungkinan telah ditebang habis atau dalam waktu dekat akan ditebang habis. Namun hanya sekitar 2 juta ha yang telah ditanami, sedangkan sisanya seluas 7 juta ha menjadi lahan terbuka yang terlantar dan tidak produktif.
3. Perkebunan Lonjakan pembangunan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit, merupakan penyebab lain dari deforestasi. Hampir 7 juta ha hutan sudah disetujui untuk dikonversi menjadi perkebunan sampai akhir tahun 1997 dan hutan ini hampir dapat dipastikan telah ditebang habis. Tetapi lahan yang benar-benar dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1985 hanya 2,6 juta ha, sementara perkebunan baru untuk tanaman keras lainnya kemungkinan luasnya mencapai 1-1,5 juta ha. Sisanya seluas 3 juta ha lahan yang sebelumnya hutan sekarang dalam keadaan terlantar. Banyak perusahaan yang sama, yang mengoperasikan konsesi HPH, juga memiliki perkebunan. Dan hubungan yang korup berkembang, dimana para pengusaha mengajukan permohonan izin membangun perkebunan, menebang habis hutan dan menggunakan kayu yang dihasilkan utamanya untuk pembuatan pulp, kemudian pindah lagi, sementara lahan yang sudah dibuka ditelantarkan.
4. Perkebunan Lonjakan pembangunan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit, merupakan penyebab lain dari deforestasi. Hampir 7 juta ha hutan sudah disetujui untuk dikonversi menjadi perkebunan sampai akhir tahun 1997 dan hutan ini hampir dapat dipastikan telah ditebang habis. Tetapi lahan yang benar-benar dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1985 hanya 2,6 juta ha, sementara perkebunan baru untuk tanaman keras lainnya kemungkinan luasnya mencapai 1-1,5 juta ha. Sisanya seluas 3 juta ha lahan yang sebelumnya hutan sekarang dalam keadaan terlantar. Banyak perusahaan yang sama, yang mengoperasikan konsesi HPH, juga memiliki perkebunan. Dan hubungan yang korup berkembang, dimana para pengusaha mengajukan permohonan izin membangun perkebunan, menebang habis hutan dan menggunakan kayu yang dihasilkan utamanya untuk pembuatan pulp, kemudian pindah lagi, sementara lahan yang sudah dibuka ditelantarkan.
5. Konvensi Lahan Peran pertanian tradisional skala kecil, dibandingkan dengan penyebab deforestasi yang lainnya, merupakan subyek kontroversi yang besar. Tidak ada perkiraan akurat yang tersedia mengenai luas hutan yang dibuka oleh para petani skala kecil sejak tahun 1985, tetapi suatu perkiraan yang dapat dipercaya pada tahun 1990 menyatakan bahwa para peladang berpindah mungkin bertanggung jawab atas sekitar 20 persen hilangnya hutan. Data ini dapat diterjemahkan sebagai pembukaan lahan sekitar 4 juta ha antara tahun 1985 sampai 1997.
6. Program Transmigrasi Transmigrasi yang berlangsung dari tahun 1960-an sampai 1999, yaitu memindahkan penduduk dari Pulau Jawa yang berpenduduk padat ke pulau-pulau lainnya. Program ini diperkirakan oleh Departemen Kehutanan membuka lahan hutan hampir 2 juta ha selama keseluruhan periode tersebut. Disamping itu, para petani kecil dan para penanam modal skala kecil yang oportunis juga ikut andil sebagai penyebab deforestasi karena mereka membangun lahan tanaman perkebunan, khususnya kelapa sawit dan coklat, di hutan yang dibuka dengan operasi pembalakan dan perkebunan yang skalanya lebih besar. Belakangan ini, transmigrasi "spontan" meningkat, karena penduduk pindah ke tempat yang baru untuk mencari peluang ekonomi yang lebih besar, atau untuk menghindari gangguan sosial dan kekerasan etnis. Estimasi yang dapat dipercaya mengenai luas lahan hutan yang dibuka oleh para migran dalam skala nasional belum pernah dibuat.
7. Konvensi Lahan Peran pertanian tradisional skala kecil, dibandingkan dengan penyebab deforestasi yang lainnya, merupakan subyek kontroversi yang besar. Tidak ada perkiraan akurat yang tersedia mengenai luas hutan yang dibuka oleh para petani skala kecil sejak tahun 1985, tetapi suatu perkiraan yang dapat dipercaya pada tahun 1990 menyatakan bahwa para peladang berpindah mungkin bertanggung jawab atas sekitar 20 persen hilangnya hutan. Data ini dapat diterjemahkan sebagai pembukaan lahan sekitar 4 juta ha antara tahun 1985 sampai 1997. 6.Program Transmigrasi Transmigrasi yang berlangsung dari tahun 1960-an sampai 1999, yaitu memindahkan penduduk dari Pulau Jawa yang berpenduduk padat ke pulau-pulau lainnya. Program ini diperkirakan oleh Departemen Kehutanan membuka lahan hutan hampir 2 juta ha selama keseluruhan periode tersebut. Disamping itu, para petani kecil dan para penanam modal skala kecil yang oportunis juga ikut andil sebagai penyebab deforestasi karena mereka membangun lahan tanaman perkebunan, khususnya kelapa sawit dan coklat, di hutan yang dibuka dengan operasi pembalakan dan perkebunan yang skalanya lebih besar. Belakangan ini, transmigrasi "spontan" meningkat, karena penduduk pindah ke tempat yang baru untuk mencari peluang ekonomi yang lebih besar, atau untuk menghindari gangguan sosial dan kekerasan etnis. Estimasi yang dapat dipercaya mengenai luas lahan hutan yang dibuka oleh para migran dalam skala nasional belum pernah dibuat.
Terjadinya deforetrasi di Indonesia menimbulkan berbagai masalah baru. Masalah-masalah tersebut antara lain:
1. Banyaknya polusi udara
Hutan yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan memiliki fungsi untuk menyerap karbondioksida khususnya yang berasal dari polusi kendaraan yang ada di bumi. Adanya deforestrasi di Indonesia menyebabkan karbondioksida yang ada di udara tidak bisa terserap dengan baik sehingga masih banyak polusi yang beterbangan di udara.
2. Global warming
Banyaknya polusi tersebut menimbulkan meningkatnya efek rumah kaca. Hal ini mengakibatkan timbulnya pemanasan global di bumi. Global warming tersebut dapat membuat es di kutub mencair dan apabila hal itu terus terjadi akan mengikisnya daratan di bumi. Selain itu, global warming juga bisa menimbulkan penyakit seperti kanker.
3. Timbulnya bencana alam
Apabila hutan terus mengalami deforestrasi maka menyebabkan tumbuhan yang berfungsi untuk menyerap air tidak bisa bekerja secara optimal. Hal ini akan menyebabkan berbagai bencana alam seperti banjir dan longsor. Bencana tersebut telah sering terjadi di Indonesia. Indonesia sampai saat ini belum bisa mengatasi bencana banjir yang telah menjadi langganan di wilayah Indonesia.
4. Terancamnya keanekaragaman hayati
Jika tumbuhan terus di tebang dan hewan terus di buru maka dalam jangka waktu yang singkat keanekaragaman hayati akan terancam punah
5. Terancamnya air tanah
Salah satu fungsi hutan adalah penyedia air, namun apabila pohon-pohon di hutan sudah semakin sedikit, fungsi tersebut tidak akan bertahan lama. Air tanah yang tersimpan di hutan terancam langka. Apabila hal ini terjadi, maka akan mengancam kelangsungan hidup makhluk hidup khususnya masyarakat.
Untuk mengatasi deforestrasi yang semakin tinggi dan untuk mencegah terjadinya masalah-masalah yang ditimbulkan, pemerintah telah melakukan beberapa usaha agar paru-paru dunia ini bisa dijaga. Pemerintah Indonesia telah melalui keputusan bersama Departemen Kehutanan dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan sejak tahun 2001 untuk mengeluarkan larangan ekspor kayu bulat (log) dan bahan baku serpih dan di tahun 2003, Departemen Kehutanan telah menurunkan jatah tebang tahunan (jumlah yang boleh ditebang oleh pengusaha hutan) menjadi 6,8 juta meter kubik setahun dan akan diturunkan lagi di tahun 2004 menjadi 5,7 juta meter kubik setahun. Pemerintah juga telah membentuk Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) yang bertugas untuk melakukan penyesuaian produksi industri kehutanan dengan ketersediaan bahan baku dari hutan. Selain itu, Pemerintah juga telah berkomitmen untuk melakukan pemberantasan illegal logging dan juga melakukan rehabilitasi hutan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang diharapkan di tahun 2008 akan dihutankan kembali areal seluas tiga juta hektar.
Namun sampai saat ini, pemerintah sulit merealisasikan itu semua. Hingga tahun 2002 masih dilakukan ekspor kayu bulat yang menunjukkan adanya pelu semua. anggaran dari kebijakan pemerintah sendiri. Dan pemerintah masih akan memberikan ijin pengusahaan hutan alam dan hutan tanaman seluas 900-an ribu hektar kepada pengusaha melalui pelelangan. Pemerintah juga belum memiliki perencanaan menyeluruh untuk memperbaiki kerusakan hutan melalui rehabilitasi, namun kegiatan tersebut dipaksakan untuk dilaksanakan, yang tentunya akan mengakibatkan terjadinya salah sasaran dan kemungkinan terjadinya kegagalan dalam pelaksanaan. Hal yang terpenting dan belum dilakukan pemerintah saat ini adalah menutup industri perkayuan Indonesia yang memiliki banyak utang. Pemerintah juga belum menyesuaikan produksi industri dengan kemampuan penyediaan bahan baku kayu bagi industri oleh hutan. Hal ini dapat mengakibatkan kegiatan penebangan hutan tanpa ijin akan terus berlangsung, dan dengan hanya menurunkan jatah tebang tahunan, maka kita masih belum bisa membedakan mana kayu yang sah dan yang tidak sah. Bila saja pemerintah untuk sementara waktu menghentikan pemberian jatah tebang, maka dapat dipastikan bahwa semua kayu yang keluar dari hutan adalah kayu yang tidak sah atau illegal, sehingga penegakan hukum bisa dilakukan.
Untuk menghentikan kerusakan hutan di Indonesia, maka pemerintah harus mulai serius untuk tidak lagi mengeluarkan ijin-ijin baru pengusahaan hutan, pemanfaatan kayu maupun perkebunan, serta melakukan penegakan hukum terhadap pelaku ekspor kayu bulat dan bahan baku serpih. Pemerintah juga harus melakukan uji menyeluruh terhadap kinerja industri kehutanan dan melakukan penegakan hukum bagi industri yang bermasalah. Setelah tahapan ini, perlu dilakukan perbaikan terhadap hutan yang rusak, dengan penanaman besar-besaran pohon di hutan. Kemudian, bila telah tertata kembali sistem pengelolaan hutan, maka pemberian ijin penebangan kayu hanya pada hutan tanaman atau hutan yang dikelola berbasiskan masyarakat lokal.
Selain peran pemerintah, masyarakat juga bisa ikut berpartisipasi dalam hal perbaikan hutan yaitu dengan cara memberi surat atau kegiatan lainnya yang bertujuan memberikan tekanan pada pemerintah agar bisa menjalankan solusi yang terbaik. Di samping itu masyarakat juga harus melakukan pengawasan terhadap hutan terdekat dan masyarakat juga bisa mulai menanam pohon untuk persediaan masa datang.
Hal yang paling penting dari penanganan kerusakan hutan, yaitu manusia di Indonesia bahkan di dunia harus memahami teori ekosentrisme. Manusia harus memahami bahwa makhluk hidup dan benda matipun memiliki keterkaitan erat. Teori ini bukan hanya memusatkan perhatian pada dampak pencemaran bagi kesehatan manusia, tetapi juga pada kehidupan secara keseluruhan. Pendekatan yang yang dilakukan dalam menghadapi issue lingkungan hidup cenderung bersifat biosentris dan bahkan ekosentris. Isi alam semesta tidak dilihat hanya sebagai sumber daya dan menilainya dari fungsi ekonomi semata. Alam harus dipandang juga dari segi nilai dan fungsi budaya, sosial, spiritual, medis dan biologis. Apabila hal itu telah terjadi maka kemungkinan besar deforestrasi akan cepat teratasi.

2 komentar:

  1. Isinya bagus:). Sebagian dari isinya saya pakai untuk referensi untuk tugas saya di sekolah.. Ini sangat membantu. Terima kasih banyak^^

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum ka. izin ya ka.. sebagian isi dri blog kaka utk salah satu referensi tugas makalah ilmiah saya dikampus. Jaza-killah khairan katsiiraa . :) ^____^

    BalasHapus

Powered By Blogger